Senin, 22 Oktober 2012

lanjutan


1.     Demokrasi Amerika Serikat
Demokrasi Amerika Serikat menganut sistem pluralisme. Teori pluralisme menyatakan bahwa sistem politik Amerika Serikat tersusun atas sejumlah kekuatan yang masing-masing berdiri sebagai sebuah kelompok. Model demokrasi pluralis (pluralist model of democracy) bahkan menafsirkan istilah demokrasi sebagai ‘pemerintahan oleh orang banyak’ (government by the people), dan hal tersebut ditafsirkan sebagai pemerintahan yang beroperasi atas dasar kepentingan-kepentingan setiap warga . Hal ini memang ditopang oleh Konstitusi Amerika yang menjadi legitimasi dari pluralisme. Empat gagasan politik yang menjadi pilar Konstitusi 1787 adalah: (1) republikanisme yang bersumber dari pemikiran Aristoteles yang ingin memadukan sistem demokrasi langsung ala Yunani dengan sistem oligarki, bahwa pemerintahan Amerika merupakan kumpulan individu terpilih yang oleh rakyat diserahi kedaulatan dan kekuasaan untuk mengatur demi kebaikan dan kepentingan bersama; (2) federalisme yang bersumber dari pemikiran para founding fathers Amerika yang membagi kekuasaan secara vertikal dari pemerintahan pusat/federal, negara bagian, dan lokal; (3) separation of powers yang bersumber dari pemikiran John Locke dan Charles-Louis de Secondat Montesquieu bahwa tugas, tanggung jawab, wewenang, dan kekuasaan untuk setiap tingkat pemerintahan (federal, negara bagian, dan lokal) dipecah lagi menjadi beberapa cabang (eksekutif, legislatif, dan yudikatif); (4) checks and balances yang bersumber dari pemikiran Henry St. John Bolingbroke dan William Blackstone. bahwa masing-masing cabang dan tingkat pemerintahan diwajibkan untuk senantiasa saling mengawasi dan mengontrol.


PEMBAHASAN

1.     Prinsip Demokrasi
Inu Kencana Syafiie merinci prinsip-prinsip demokrasi sebagai berikut, yaituadanya pembagian kekuasaan, pemilihan umum yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu, peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang berdasarkan hukum, pers yang bebas, beberapa partai politik, konsensus, persetujuan, pemerintahan yang konstitusional, ketentuan tentang pendemokrasian, pengawasan terhadap administrasi negara, perlindungan hak asasi, pemerintah yang mayoritas, persaingan keahlian, adanya mekanisme politik, kebebasan kebijaksanaan negara, dan adanya pemerintah yang mengutamakan musyawarah. Prinsip-prinsip negara demokrasi yang telah disebutkan di atas kemudian dituangkan ke dalam konsep yang lebih praktis sehingga dapat diukur dan dicirikan. Ciri-ciri ini yang kemudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat pelaksanaan demokrasi yang berjalan di suatu negara. Parameter tersebut meliputi empat aspek.Pertama, masalah pembentukan negara. Proses pembentukan kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kualitas, watak, dan pola hubungan yang akan terbangun. Pemilihan umum dipercaya sebagai salah satu instrumen penting yang dapat mendukung proses pembentukan pemerintahan yang baik. Kedua, dasar kekuasaan negara. Masalah ini menyangkut konsep legitimasi kekuasaan serta pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Ketiga, susunan kekuasaan negara. Kekuasaan negara hendaknya dijalankan secara distributif. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemusatan kekuasaan dalam satu tangan..Keempat, masalah kontrol rakyat. Kontrol masyarakat dilakukan agar kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau negara sesuai dengan keinginan rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Makna sebenarnya demokrasi didalam suatu pemerintahan rakyat adalah bahwa rakyat sangat yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan oleh wakil-wakil rakyat. Pemerintahan yang tidak termasuk dengan demokrasi adalah cara pemerintahan yang dilakukan oleh dan atas nama seorang diri atau pemerintahan yang dilakukan oleh segolongan kecil manusia saja, yang menganggap dirinya tercakap dan berhak untuk mengambil dan melakukan segala kekuasaan di atas segenap rakyat.
Beberapa karakteristik yang harus ditampilkan dari warga negara yang berkarakter dan berjiwa demokratis, yaitu ;Memilki sikap rasa hormat dan tanggung jawab, bersikap kritis, membuka diskusi dan dialog, bersikap terbuka, bersikap rasional, adil, dan selalu bersikap jujur. Warga negara yang otonom harus melakukan tiga hal untuk mewujudkan demokrasi konstitusional, yaitu menciptakan kultur taat hukum yang sehat dan aktif (culture of law), ikut mendorong proses pembuatan hukum yang aspiratif (process of law making), mendukung pembuatan materi-materi hukum yang responsif (content of law), ikut menciptakan aparat penegak hukum yang jujur dan bertanggung jawab (structure of law). Teori Kedaulatan Rakyat sebenarnya telah tampak dalam prinsip-prinsip Revolusi Prancis tahun 1789 yang setelah itu dicantumkan pada Undang Undang Dasar Negara Perancis, dimana pasal ke 6 dari pengumuman hak-hak tahun 1789 menegaskan bahwa: “Undang-undang adalah ungkapan dari keinginan rakyat” . Dari uraian yang diatas dapat jelaslah bahwa demokrasi pada intinya adalah kedaulatan rakyat, dan bahwa kedaulatan ini pada dasarnya bermuara pada hak yang mutlak dalam pembuatan hukum yang tidak tunduk terhadap kekuasaan yang lain.
Demokrasi adalah sebuah sistem masyarakat yang ditujukan untuk membentuk suatu masyarakat yang madani. Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi (demokratisasi) menurut M. Dawam Rahadjo, bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya bersifat ko-eksistensi atau saling mendukung. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah masyarakat madani dapat berkembang secara wajar. Nurcholish Madjid memberikan penjelasan mengenai keterkaitan antara masyarakat madani dengan demokratisasi. Menurutnya, masyarakat madani merupakan tempat tumbuhnya demokrasi. Pemilu merupakan simbol bagi pelaksanaan demokrasi. Masyarakat madani merupakan elemen yang signifikan dalam membangun demokrasi. Salah satu syarat penting bagi demokrasi adalah terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintahan. Masyarakat madani mensyaratkan adanya civic engagement yaitu keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi sosial. Civic engagement ini memungkinkan tumbuhnya sikap terbuka, percaya, dan toleran antara satu dengan lainnya. Masyarakat madani dan demokrasi menurut Ernest Gellner merupakan dua kata kunci yang tidak dapat dipisahkan. Demokrasi dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi. Dalam perjalanannya, demokrasi juga memiliki urgensi-urgensi. Urgensi-urgensi demokrasi adalah
a.    kebebasan untuk berpendapat
b.     kebebasan untuk membuat kelompok
c.    kebebasan untuk berpartisipasi
d.   kesetaraan antar warga
e.    saling percaya
f.      kerjasama.
g.    Kesadaran akan pluralisme
h.    Sikap yang jujur dan pikiran sehat
i.      Demokrasi membutuhkan kerjasama antar warga masyarakat.
j.      Demokrasi membutuhkan sikap kedewasaan
k.    Demokrasi membutuhkan pertimbangan moral

2.     Struktur Sosial Demokrasi Amerika

Penyebab Demokrasi Amerika Serikat
Akar sosial demokrasi AS berasal dari rasa kesataraan para kaum imigran Eropa di pesisir New England. Dalam perkembangan sejarahnya, Amerika Serikat merupakan negara yang terbentuk dari kumpulan imigran dari Eropa yang lari dari kekuasaan feodal. Menurut Tocqueville (dalam Stone dan Menhell, 2005), dalam sistem feodal sebelumnya semua anggota masyarakat diikat oleh jejaring yang sudah baku, dalam sistem baru Amerika Serikat, Individualisme menjadi pilihan. Dalam sistem baru ini, para individu menjadi diri yang bebas, komunalisme berganti dengan Individualisme. Persamaan menjadi basis dari sistem masyarakat di Amerika serikat (Stone dan Menhell, 2005). Anglo-Amerika adalah bangsa pertama yang cukup senang untuk menyingkirkan kekuasaan absolut, mereka mendapatkan kesempatan ini berkat keadaan, asal ususl, kecerdasan dan perasaan moral mereka, yang menjaga kedaulatan rakyat (Stone dan Menhell, 2005).

Ciri-Ciri Demokrasi Amerika
Ciri-ciri utama masyarakat AS adalah negara dimana warga negaranya suka berkumpul hal inilah yang menjadikan Amerika disebut sebagai negara yang memiliki tatanan sosial yang bersifat demokratis. Orang-orang Amerika Serikat dari segala usia kondisi, dan kecenderuangan senantiasa membentuk perkumpulan. Perkumpulan bukan hanya perkumpulan serikat pegawai, namunn juga perkumpulan agama, dan komunitas hiburan. Orang Amerika membentuk perkumpulan untuk mencari hiburan, mendirikan lembaga pendidikan, membangun penginapan, membangun geraja dan lain lain (Toqueville dalam Stone dan Menhell, 2005). Mengingat masyarakat Amerika sering berkumpul dan salah satunya adalah berkumpul dalam aktivitas keagamaan, hal ini menurut Tocqueville dalam (Stone dan Menhell, 2005) menunjukkan bahwa Amerika merupakan negara yang agamis. Agamalah yang melahirkan masyarakat Anglo-Amerika. Dengan demikian, di Amrika Serikat agama berbaur dengan kebiasaan bangsa itu dan bersatu dengan rasa patriotisme.
Menurut Tocqueville (dalam Stone dan Menhell, 2005) di Amerika Serikat, aristokrasi tidak menjadi dasar prinsip hidup masyarakatnya. Sehingga tingkatan dan perbedaan status sejak lahir secara logis menjadi tidak ada, sehingga posisi individu sama dengan individu lainnya. Hal ini mengakibatkan negara cenderung membentuk sebuah tirani baru, yaitu tirani mayoritas (Stone dan Menhell, 2005). Dalam sistem masyarakat di AS menurut Tocqueville (dalam Stone dan Menhell, 2005), unsur-unsur aristokrasi selalu lemah saat kelahiran manusia di sana. Sebaliknya, prinsip demokrasi telah memperoleh begitu banyak kekuatan seiring dengan perkembangan waktu, peristiwa dan produk hukum. Jika ditinjau dari kehidupan sosialnya, masyarakat aristrokrasi senantiasa berisis sejumlah kecil warga yang kuat dan kaya, dan masing-masing mampu merampungkan pekerjaan besar sendirian. Dalam masyarakat aristokrasi, orang tak perlu bergabung untuk bisa bertindak karena mereka sangat terikat bersama. Setiap warga yang kaya dan kuat senantiasa berpeluang menjadi pemimpin perkumpulan wajib, dimana dimana para anggotanya dituntut patuh dengan keputusan yang dirancang (Tocqueville dalam Stone dan Menhell, 2005). Hal ini berbeda dengan prinsip tatanan sosial warga AS. Menurut Tocqueville (dalam Stone dan Menhell) dinegara demokratis, semua warganya independen dan lemah. Mereka nyaris tidak dapat berbuat apapun sendirian, dan tiada seorang pun yang dapat menuntut sesamanya untuk mengulurkan bantuan. Dengan demikian, tidak ada perintah untuk membantu sesama. Negara demoraktis menurut menurut Tocqueville (dalam Stone dan Menhell) harus dengan sendirinya menumbuhkan kesadaran untuk menjadi warga negara yang mempunya prinsip empati dan saling membantu dengan sukarela. Hal ini lebih lanjut akan menjadi masalah besar sekaligus tantangan besar bagi setiap negara demokrasi, yang mana nantinya akan menjadikan negara tersebut Individualis atau corperatif. Dengan demikian, dalam kehidupan sosialnya, Amerika Serikat memperlihatkan fenomena yang paling luar biasa. Orang hidup disana dinilai berdasarkan kesetaraan yang lebih besar dalam hal kekayaaan dan kepintaran. Lebih lanjut dalam hal ini, sistem persamaan dalam konteks masyarakat komersial cenderung membuat individu hanya mencari kebahagiaan sesaat, dan bersaing mencari kebahagiaan sesaat, dan bersaing mencari keuntungannya sendiri. Masyarakat akan berisi manusia medioker, tanpa keagungan aristrokrasi. Yang terpenting adalah perdamaian dan kesejahteraan dan sebuah siituasi di mana angota-angotanya dapat bekerja dengan tenang mencari hidup dan kebahagiaan (Stone dan Menhell, 2005). Dengan plus dan minus yang dimiliki oleh negara yang menganut sistem demokrasi, Menurut Tocqueville, budi pekerti masyarakat Amerika Serikat adalah menjadi sebab nyata yang menjadikan satu-satunya alat yang membuat rakyat diseluruh AS mampu mendukung pemerintahan yang demokratis, dan pengaruh budi pekertilah yang menghasilkan derajat-derajat keteraturan dan kemakmuran di beberapa negara bagian di Amerika Serikat (Stone dan Menhell, 2005).

Hukum Demokrasi di Amerika Serikat
Adanya demokrasi di Amerika Serikat selain menyebabkan rakyat lebih mementingkan kesenangan sesaat, selain itu orang juga enggan untuk mengorbankan dirinya untuk orang lain, namun memperlihatkan rasa iba akan sesamanya. Hal ini dapat dilihat dari sistem humum yang ada. Amerika serikat pada abad ke 19 hampir menghapuskan semua hukuman berat penuh dari kitab pidana mereka (Stone dan Menhell, 2005). Berkaitan dengan hal hukum tersebut, dikarenakan warga AS dalam hak istimewa tidak lebih unggul dari pada warga lainnya, akan berdampak pada anggapan setiap individu warga negara bahwa mereka tidak harus mematuhi atau menghormati warga negara yang lain, mereka hanya bersatu dalam urusan pengadilan, pemerintahan, dan urusan urusan yang berkaitan dengan kesejahteraanbersama (Tocqueville dalam Stone dan Menhell, 2005).
Orang Amerika yang begitu bersemangat untuk berkumpul dalam rapat politik dansidang pengadilan, sebaliknya dapat memisahkan diri dari lingkarn-lingkaran kecil untuk menikmati kehidupan pribadinya. Setiap orang mengakui bahwa setiap warga negara adalah sederajat, namun mereka hanya sedikit saja rela untuk menerima teman sebagai tamu (Tocqueville dalam Stone dan Menhell, 2005).

Keuntungan Tatanan Demokrasi Amerika
Demokrasi Amerika memiliki keuntungan-keuntungan yang menyebabkan Amerika Serikat menjadi negara demokrasi yang maju, yaitu berasal dari 3 fator. Faktor tersebut adalah faktor geografi, sistem politik dan faktor adat-istiadat. Dalam masalah geografi, Amerika adalah benua baru yang menjanjikan kecukupan dan kemakmuran dari para penduduknya. Penduduk Amerika tidak khawatir dengan adanya tekanan berarti dari bangsa lain seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Serikat (Stone dan Menhell, 2005). Sistem Amerika serikat menganut sistem federasi, dimana keputusan-keputusan tidak diambil oleh pemerintah pusat namun terdesentralisasi kepada pemerintah lokal, sehingga warga negara menjadi terakomodasi dan dapat memenuhi keinginannya melalui penyampaian pada pemerintah federal masing-masing negara bagain.sistem ini pulalah yang mendorong semangat partisipatoris di AS. Tocqueville mengamati bahwa masyarakat AS terlibat pada acara-cara sosial, perkumpulan-perkumpulan keagamaan dan politik. Semangat seperti tersebut diatas merupakan alat counter-balance yang positif terhadap kecenderungan negatif yang melekat pada demokrasi dan sistem persamaan (Stone dan Menhell, 2005). Akibat tidak langsung dari sistem desentralisasi dan federasi adalah adanya sistem politik yang berbentuk Uni. Di AS, kepentingan warganegara mendapatkan perhatian dalam bentuk Uni, sehingga warga negara menjadi terikat kepadanya. Subjek dari Uni bukanlah negara-negara bagian, melainkan dari warga negara biasa. Terlepas dari keuntungan yang dimiliki oleh Uni yang bersatu dalam sistem federal, menurut Tocqueville, konstitusi AS memiliki masalah dikarenakan rumitnya perangkat yang digunakan (Stone dan Menhell, 2005).

Masalah Dalam Tatanan Demokratis Amerika Serikat
Amerika adalah negara dimana prinsip kesetaraan dalam hak lahir dan kepemilikan bergabung dengan paham dan tujuan warga negara AS yaitu kebebasan. Kertika setiap masyarakat tidak berbeda satu sama lain, tiada seorangpun yang dapat menjalankan tirani, manusia akan bebas secara sempurna. Menuju keadaan ideal inilah negara demokratis terarah. Oleh karena itu, kesetaraan akan mencapai tingkat terjauh, nantinya akan dikacaukan dengan kebebasan. Menurut Tocqueville (dalam Stone dan Menhell, 2005) menyatakan bahwa, pada prinsipnya, kesetaraan dan kebebasan adalah dua prinsip yang berbeda. Dan inilan yaang menurut Tocqueville menjadi masalah bagi negara demokratis. Individualisme Amerika akan membawa negara tersebut kejurang kebebasan yang nantinya menjadikan antar warga negara menjadi tidak setara, dalam hal ekonomi, pendidikan dan partisipasi politik. Meskipun dalam hal ini, negara demokratis terlebih AS, memberikan hak dan kesempatan yang sama pada setiap warga negaranya. Lebih lanjut Tocqueville (dalam Stone dan Menhell, 2005), diantara negara demokratis dimana setiap warga negara setara, tak ada ikatan ikatan nyata yang menghubungkan orang bersama, atau membuat orang diam diposisi mereka. Tidak ada individu yang memiliki kekuasaan untuk memberikan perintah, tidak ada individu yang menuntut untuk patuh. Namun setiap orang yang merasa memiliki pendidikan dan sumber daya, mungkin memilih jalannya sendiri dan bergerak terpisah dari sesamanya.

Masalah Tatanan Demokrasi Politik AS
Menurut Tocqueville (dalam Stone dan Menhell, 2005), akan ada kecenderungan bagi masyarakat untuk mengubah bentuk dan tempatnya, dan zaman demokratis akan menjadi masa tranformasi yang tiada henti, yang nantinya akan membawa masyarakat kedalam sebuah revolusi. Dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa dalam negara demokrasi dimana kebebasan yang berawal dari kesetaraan ini dimulai, akan mengakibatkaan setiap warga negara dapat mempengaruhi satu sama lain, membentuk kelompok-kelompok dan mengubah prinsip dasar hidup mereka, mengubah undang-undang serta perilaku mereka (Tocqueville dalam Stone dan Menhell, 2005). Hal ini terbukti dengan pernyataan dari William R. Nylen dalam bukunya “Participatory Democracy versus Elitist Democracy: Lessons from Brazil” (2003), menyatakan, demokrasi AS telah menyimpang dari pengertian demokrasi sebagai kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi Amerika telah menjadi kendaraan bagi elite untuk mengamankan dan meluaskan kepentingannya, sembari mengasingkan kepentingan mayoritas rakyat Amerika. Untuk menjelaskan simpulannya ini, Nylen meminjam Norberto Bobbio, seorang ilmuwan politik asal Italia, yang menyatakan demokrasi adalah sebuah proses ‘menjadi,’ senantiasa bertransformasi, dan menjadikannya sesuatu yang alamiah. “Democracy is dynamic, despotism is static and always essentially the same,” tulis Bobbio. Dinamis karena demokrasi pertama-tama dan terutama, adalah “a conflictual process of inclussionary adaptation both reflecting and spurring on changes in the overall balance of social and political power.” Sebaliknya, demikian Nylen, demokrasi AS kini telah menjadi stagnan dan dalam proses pembusukan, karena apa yang disebut proses inclussionary adaptation itu secara esensial telah berhenti dan bertransformasi menjadi mechanism of exclusion
Selain itu, dikarenakan Amerika hanya menganut sistem dua partai, maka terjadi penguatan sistem atau praktik Oligarki. Menguatnya kekuasaan oligarki ini, terutama disebabkan oleh suksesnya partai Republik pada dekade 1980an dalam menghancurkan peran negara sebagai lembaga yang berhak mengoreksi kegagalan pasar. Dengan demikian, Tak ada lagi kekuatan dari luar yang sanggup mencegah kuasa oligarki ini. Tidak pula partai Demokrat, yang secara tradisional dianggap lebih berpihak pada kelompok miskin. Hal kedua yang menyebabkan demokrasi Amerika menjadi stagnan, karena sikap politik rakyatnya yang apatis. Demokrasi dalam makna yang sesungguhnya, sebagai sebuah kekuasaan rakyat, sebenarnya adalah sebuah proses yang dialektis. Ia adalah hasil perjuangan tanpa henti antara rakyat sebagai sumber kekuasaan dan pemerintah yang menjalankan kekuasaan sehari-hari. Dalam makna ini, tak ada yang disebut pelimpahan kekuasaan dari rakyat kepada pemerintah. Yang ada adalah pendelegasian kekuasaan dari rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan kepada pemerintah. Tetapi, ketika kekuasaan itu terlembaga dalam wujud negara, ia justru makin menjauh, tersaing, bahkan melawan pemegang mandat. Di sini negara bersama seperangkat aparatusnya menjadi rumit, kaku, angker, tertutup dan kasar. Dalam analisis Karl Marx, di masa kapitalisme, negara yang terasing dari rakyat miskin ini menjadi alat dari kelas borjuasi untuk melayani dan mengamankan kepentingannya. Dalam konteks Amerika, ia menjadi adalah alat oligarki untuk melayani, mengamankan, dan meluaskan kepentingannya.
Dalam sejarah Amerika, menurut Nylen, keberpihakan pemerintah Amerika terhadap kepentingan mayoritas rakyat terjadi, hanya setelah ada desakan dan perlawanan politik dari rakyat. Sebagai contoh, Konstitusi Amerika 1788 yang tengah disusun oleh para pendiri bangsa yang sebagian besar adalah tuan tanah kaya raya dan berpendidikan, sangat dipengaruhi oleh pemberontakan petani di Massachusetts Barat (1786-1787), yang menentang pajak tinggi dan ancaman penutupan lahan pertaniannya yang diberlakukan oleh pemerintahan negara bagian. Demikian juga dengan pengundangan hak-hak sipil (Civil Rights legislation) pada akhir 1950an dan awal 1960an, adalah hasil dari perjuangan kelompok akar rumput seperti Student Non-Violent Coordinating Committee, Southern Council of Baptist Church dan individu seperti Rosa Parks dan Martin Luther King Jr. Penarikan diri tentara Amerika dari perang Vietnam, juga hanya setelah ada demonstrasi besar-besaran di dalam negeri Amerika sendiri yang menentang perang tersebut. Tetapi, kini kesadaran sejarah seperti ini seakan hilang dari ingatan kolektif rakyat Amerika. Di tengah-tengah booming ekonomi, produk-produk yang membanjiri pasar dengan harga terjangkau, rakyat Amerika merasa apa yang terjadi saat ini sudah merupakan sesuatu yang wajar. Wajar dalam pengertian yang negatif, karena sebenarnya ketidakpercayaan rakyat bahwa proses politik demokrasi dan para politisi akan bekerja untuk kepentingannya meningkat tajam, dari 30 persen pada 1966 menjadi 75 persen pada 1992. Hal itu diiringi oleh merosotnya level partisipasi dalam organisasi masyarakat sipil.
Kondisi apatis ini oleh Robert Putnam disebut sebagai “civic disengagement.” Inilah kata Putnam, seorang Neo-Tocqquevillains,”the greatest threat to American Liberty comes from the disengaged, not the engaged,” (Robert D. Putnam, “Bowling Alone: America’s Declining Social Capital,” The Journal of Democracy, 6, January 1995). Dalam catatan Nylen, ada dua hal yang menyebabkan rakyat Amerika menjadi apatis. Pertama, rakyat Amerika kini merasakan betapa negara telah menjadi begitu kuatnya. Suaranya kalah kencang dibandingkan dengan suara birokrasi kekuasaan.
Selain itu, dikarenakan Amerika menganut model demokrasi mayoritas, maka akan berdampak pada kepentingan dari sedikit individu harus dikorbankan bagi kepentingan dari banyak individu (kepentingan umum), maka model pluralis menyatakan bahwa yang menang tidak harus atau tidak selalu kepentingan mayoritas, melainkan kepentingan yang disuarakan oleh kelompok yang paling kuat atau yang terampil dalam menyuarakan dan memperjuangkannya. Kelompok kepentingan yang kuat dalam kenyataannya tidak selalu milik mayoritas. 

Demokrasi Masyarakat Indonesia
Demokrasi Sebagai Budaya dan Identitas Bangsa
Demokrasi bukan hal baru bagi bangsa Indonesia, dimana telah dijelas dalam Pancasila yang oleh Bung Karno sebagai Penggalinya ditegaskan sebagai Isi Jiwa dan Identitas Bangsa. Tidak dihiraukan bahwa demokrasi dan sistem pemerintahan itu akan berjalan tepat jika dapat menggerakkan dinamika bangsa serta mengembangkan energi bangsa dilakukan secara maksimal untuk mencapai tujan hidupnya. Identitas dalam kategori mencari legitimasi adalah pengakuan dari kelompok atau negara. Hal ini dapat kita lihat pada terbentuknya negara didalam perjuangan kemerdekaan. Untuk negara Indonesia sendiri, pembentukan identitas bangsa Indonesia sampai revolusi tahun 1945 mempunyai citra identitas politik. Arus primordialisme pembentukan indentitas terus terakumulasi sampai pada puncaknya pada pembuataan UUD 1945 (Tilaar, 2007). Berakar dari asas primordialisme, Identitas bangsa Indonesia dapat di lihat dalam Pancasila. Menurut Driyarkara (dalam Tilaar, 2007) pada dasarnya sila-sila dalam Pancasila semuanya diarahkan kepada kehidupan manusia yang membutuhkan hidup kerohanian serta hidup bersama dengan masyarakatyang adil dan makmur. Oleh sebab itu kehidupan bermasyarakat Indonesia dengan identitas Indonesia adalah kehidupan yang penuh kedamaian, saling menghormati, dan saling menghargaivakan perbedaan yang ada di dalam kehidupan bersamasebagai kekayaan dari bangsa Indonesia (Tilaar, 2007).
Dalam Pancasila, dijelaskan bahwa aspirasi manusia Indonesia juga mengandung aspek Demokrasi Sosial di samping Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab jelas sekali menunjukkan pentingnya Demokrasi Sosial. Sebab itu semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan semua harus menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa memandang tingkat kedudukannya dan asal golongannya. Semua warga berhak atas kehidupan yang layak sebagai manusia yang berharga. Dalam pengaplikasiaanya, sebuah demokrasi Pancasila yang pada dasarnya merupakan bentuk tertulis dari identitas bangsa memiliki prinsip-prinsip.
  Prinsip prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
• Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia
• Keseimbangan antara hak dan kewajiban
• Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan
• Mewujudkan rasa keadilan sosial
• Pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat.
• Mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan
• Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional.

Landasan Demokrasi Indonesia dan Demokrasi Sekuler
Karena Pancasila telah kita akui dan terima sebagai Filsafah dan Pandangan Hidup Bangsa serta Dasar Negara RI, maka Pancasila harus menjadi landasan pelaksanaan demokrasi Indonesia. Kalau kita membandingkan dengan demokrasi Barat yang sekarang menjadi acuan bagi kebanyakan orang, khususnya kaum pakar politik Indonesia, ada perbedaan yang mencolok sebagai akibat perbedaan pandangan hidup. Sebagaimana sudah diuraikan dalam makalah Perbedaan Pikiran Barat dan Pancasila, perbedaan prinsipiil atau mendasar dalam pandangan hidup Barat dan Indonesia adalah tempat Individu dalam pergaulan hidup. Dalam pandangan Barat individu adalah mahluk otonom yang bebas sepenuhnya untuk mengejar semua kehendaknya. Bahwa individu membentuk kehidupan bersama dengan individu lain adalah karena dorongan rasionya untuk memperoleh keamanan dan kesejahteraan yang terjamin, bukan karena secara alamiah individu ditakdirkan hidup bersama individu lain. Sebaliknya dalam pandangan Indonesia individu adalah secara alamiah bagian dari kesatuan lebih besar, yaitu keluarga, sehingga terjadi Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Oleh sebab itu pandangan bangsa Indonesia adalah bahwa hidup merupakan Kebersamaan atau Kekeluargaan. Individu diakui dan diperhatikan kepentingannya untuk mengejar yang terbaik baginya, tetapi itu tidak lepas dari kepentingan Kebersamaan / Kekeluargaan. Jika pelaksanaan demokrasi Barat dinamakan sekuler dalam arti bahwa tidak ada faktor Ketuhanan atau religis yang mempengaruhinya, sebaliknya demokrasi Indonesia tidak dapat lepas dari faktor Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Meskipun NKRI bukan negara berdasarkan agama atau negara agama, namun ia bukan pula negara sekuler yang menolak faktor agama dalam kehidupan bernegara. Ada yang mengritik “sikap bukan ini bukan itu” sebagai sikap yang a-moral dan ambivalent, tetapi dalam perkembangan cara berpikir dalam melihat Alam Semesta, khususnya yang dibuktikan oleh Quantum Physics , hal ini normal. Justru karena sikap itu demokrasi Indonesia tidak pernah boleh lepas dari faktor moral.

Demokrasi Musyawarah
Di Indonesia berdasarkan Pancasila demokrasi dilaksanakan melalui Musyawarah untuk Mufakat. Jadi dianggap tidak benar bahwa pihak yang sedikit jumlahnya dapat di”bulldozer” oleh pihak yang besar jumlahnya. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia pada prinsipnya mengusahakan Win-Win Solution dan bukan karena faktor manfaat semata-mata. Namun demikian, kalau musyawarah tidak kunjung mencapai mufakat sedangkan keadaan memerlukan keputusan saat itu, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian didasarkan jumlah suara. Maka dalam hal ini voting dilakukan karena faktor Manfaat, terbalik dari pandangan demokrasi Barat. Dalam demokrasi Indonesia tidak hanya faktor Politik yang perlu ditegakkan, tetapi juga faktor kesejahteraan bagi orang banyak sebagaimana dikehendaki sila kelima Pancasila. Jadi demokrasi Indonesia bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Bahkan sesuai dengan Tujuan Bangsa dapat dikatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi kesejahteraan dan kebahagiaan dan bukan demokrasi kekuasaan seperti di Barat. Hal itu kemudian berakibat bahwa pembentukan partai-partai politik mengarah pada perwujudan kehidupan sejahtera bangsa. Karena demokrasi Indonesia adalah demokrasi kesejahteraan, maka wahana pelaksanaan demokrasi Indonesia tidak hanya partai politik. Banyak anggota masyarakat mengutamakan perannya dalam masyarakat sebagai karyawan atau menjalankan fungsi masyarakat tertentu untuk membangun kesejahteraan, bukan sebagai politikus. Demikian pula Indonesia adalah satu negara yang luas wilayahnya dan terbagi dalam banyak Daerah yang semuanya termasuk dalam Keluarga Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu di samping peran partai politik, harus diperhatikan juga partisipasi Daerah dalam mengatur dan mengurus bangsa Indonesia sebagai satu Keluarga. Karena itu ada Utusan Daerah yang mewakili daerahnya masing-masing dalam menentukan jalannya Bahtera Indonesia. Sebagaimana prinsip Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan menjamin setiap bagian untuk mengejar yang terbaik, maka Daerah yang banyak jumlahnya dan aneka ragam sifatnya perlu memperoleh kesempatan mengurus dirinya sesuai pandangannya, tetapi tanpa mengabaikan kepentingan seluruh bangsa dan NKRI. Otonomi Daerah harus menjadi bagian penting dari demokrasi Indonesia dan mempunyai peran luas bagi pencapaian Tujuan Bangsa.

Masalah Demokrasi di Indonesia di Masa Transisi Reformasi
Demokrasi dalam arti sebenarnya terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Dengandemikian ia merupakan fitrah yang harus dikelola agar menghasilkan output yang baik.Setiap manusia memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, berserikat danbermasyarakat. Dengan demikian, demokrasi pada dasarnya memerlukan aturan main.Aturan main tersebut sesuai dengan keadilan dan sekaligus yang terdapat dalamundang-undang maupun peraturan pemerintah. Di masa transisi reformasi yang dialami Indonesia sekarang ini, sebagian besar orang hanya mengerti demokrasi dalam kebebasan untuk berbicara, beraspirasi, berdemonstrasi. Namun aspirasi yang tidak sampai akan menimbulkan kerusakan. Tidaksedikit fakta yang memperlihatkan adanya pengrusakan ketika terjadinya demonstrasimenyampaikan pendapat. Untuk itu, diperlukan adanya pemahaman yang utuh agarmereka bisa menikmati demokrasi. Demokrasi di masa transisi tanpa adanya sumber daya manusia yang kuat akanmengakibatkan masuknya pengaruh asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adalah tantangan yang cukup berat juga dalam demokrasi yang tengah menapak.Pengaruh asing tersebut jelas akan menguntungkan mereka dan belum tentumenguntungkan Indonesia. Dominannya pengaruh asing justru mematikan demokrasi itusendiri karena tidak diperbolehkannya perbedaan pendapat yang seharusnyamenguntungkan Indonesia. Standar ganda pihak asing juga akan menjadi penyebab mandulnya demokrasi di Indonesia.Kebebasan yang berlebihan, apalagi yang mutlak, justru mengundang perpecahan dan konflik antara warga. Hal itu akan malahan menjauhkan masyarakat dan bangsa dari kemajuan yang diinginkan. Hal itu kita rasakan sendiri sekarang sejak Reformasi 1998 hingga sekarang.

Esensi Keadilan Rakyat
Menurut Rawl dalam (dalam Ujan, 2001), kebebasan dan kesamaan merupakan unsur utama dari teori keadilan. Perlakuan yang sama bagi semua anggota masyarakatyang terakomodasi dalam keadilan regulatif sesungguhnya mengandung pengakuan akan kebebasan dan kesamaan bagi semua orang. Pengakuan tersebut memperlihatkan adanya kesadaran sosial yang mendasarkan bahwa kebnebasan dan kesamaan adalah nilai dari keadilan. Prinsip keadilan ada dua, yaitu yang pertama setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, masalah kesejahteraan ekonomi dan sosial harus diatur sedemikian rupa sehingga memberikan keuntungan bagi setiap manusia (Ujan, 2001). Ketidaksamaan dalam pencapaian nilai nilai sosial dan ekonomi diperbolehkan apabila tetap membuka peluang bagi orang lain untuk mendapatkan manfaat dalam hal yang sama.
Menurut Rawl (dalam Ujan, 2001), kekuatan dari keadilan dalam arti fairness justru terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan selama memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberikan prioritas dalam kebebasan. Dengan demikian pembatasan terhadap kebebasan dan hak hanya diperbolehkan sejauh hal itu dilakukan ddemi melindungi dan mengamankan pelaksanaan kebebasan itu sendiri. Keadilan sebagai fairness tidak akan pernah menjadi kenyataan dalam kehidupan warga negara apabila tidak ada kesadaran luas akan pentingnya saling menghargai sebagai sebuah moral diantara masyarakat. Oleh sebab itu, sikap saling menghargai harus dinyatakan dan dilaksanakan sebagai kewajiban natural (Ujan, 2001). Konsep keadilan sebagai fairness secara singkat merupakan gagasan atau anggapan yang menganggao semua orang memiliki basis keadilan moral yaang akan menuntun pada a sense of justice and a sense of good. Adanya kemampuan moral untuk bertindak berdasarkan konsep keadilan dan kemampuan untuk membentuk, merevisi, dan secara rasional mewujudkan sesuatu yang lebih baik inilah yang menjadi dasar atas prinsip keadilan. Interpretasi liberal atas prinsip keadilan yang mengandung unsur liberal dapat mengelakkan implikasi buruk dalam hal pembatasan kemampuan natural manusia. Akan tetapi, interpretasi liberal tidak memberikan jaminan yang tegas terhadap perlindungan dan pelaksanaan hak-hak yang sama bagi semua orang karena distribusi yang didasarkan melulu pada bakat dan kemampuan natural tetap cenderung sewenang-wenang. Oleh karena itu, demiterwujudnya suatu kesempatan yang sama bagi semua orangm dibutuhkan suatu kondisi yang harus bisa dipaksakan pada sistem sosial yang ada. Untuk itu diperlukan adanya lembaga hukum yang berfungsi untuk mengontrol dan sekaligus menjamin terbukannya kesempatan yang sama bagi setiap orang. Lain halnya jika ditinjau dari persamaan demokratis, dalam perspektif demokratis, “frase terbuka secara sama” (equally open) menunjukan kepada prinsip kesempatan yang adil bagi semua orang. Prinsip kesempatan yang adil ini dikombinasikan dengan prinsip diferen (the difference principle) yang mengakui bahwa dalam suatu keadaan bermasyarakat terdapat kelas yang tidak beruntung. Teori demokrasi keadilan Rawl (dalam Ujan, 2001) intinya menekankan kesamaan dalam hal kesempatan dalam mendapatkan sesuatu atau prospek bagi semua pihak dan sekaligus membenarkan adanya perbedaan dan ketidaksamaan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan. Meskipun demikian, teori ini membuka peluang bagi semua orang, termasuk orang yang tidak mampu atau tidak berbakat untuk merubah taraf sosialnya tanpa mengganggu taraf sosial yang lebih tinggi. Lebih jauh Rawl (dalam Ujan, 2001) menegaskan bahwa, keadilan sebagai fairness menuntuk kita untuk bertindak sesuai dengan rasa keadilan. Dengan alasan bahwa keadilan merupakan sebuah nilai primer bagi manusia, maka kewajiban untuk selalu bersikap adil pada pokoknya menuntuk bahwa keadilan harus ditegakkan dengan menggunakan cara-cara yang adil pula (Ujan, 2001). Dengan demikian, hal penting yang harus diperhartikan disini adalah peringatan Rawl (dalam Ujan, 2001) mengatakan untuk menghindari praktek-praktek yang tidak adil, sekalipun dilakukan ataas nama keadilan. Dengan kata lain keadilan tidak boleh dilaksanakan dengan cara yang tidak adil. Penggunaan cara yang tidak adil pada akhirnya akan membunuh keadilan itu sendiri. Oleh karena itu, menurut Rawl (dalam Ujan, 2001) mengatakan anggota masyarakat lain memiliki kewajiban untuk menyadarkan individu atau kelompok yang tidak toleran. Pun demikian, menggunakan kekerasan dalam menghadapi kaum intoleran juga tidak dibenarkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar