1.
Demokrasi
Amerika Serikat
Demokrasi Amerika Serikat menganut
sistem pluralisme. Teori pluralisme menyatakan bahwa sistem politik Amerika
Serikat tersusun atas sejumlah kekuatan yang masing-masing berdiri sebagai
sebuah kelompok. Model demokrasi pluralis (pluralist model of democracy) bahkan
menafsirkan istilah demokrasi sebagai ‘pemerintahan oleh orang banyak’
(government by the people), dan hal tersebut ditafsirkan sebagai pemerintahan
yang beroperasi atas dasar kepentingan-kepentingan setiap warga . Hal ini
memang ditopang oleh Konstitusi Amerika yang menjadi legitimasi dari
pluralisme. Empat gagasan politik yang menjadi pilar Konstitusi 1787 adalah:
(1) republikanisme yang bersumber dari pemikiran Aristoteles yang ingin
memadukan sistem demokrasi langsung ala Yunani dengan sistem oligarki, bahwa
pemerintahan Amerika merupakan kumpulan individu terpilih yang oleh rakyat
diserahi kedaulatan dan kekuasaan untuk mengatur demi kebaikan dan kepentingan
bersama; (2) federalisme yang bersumber dari pemikiran para founding fathers
Amerika yang membagi kekuasaan secara vertikal dari pemerintahan pusat/federal,
negara bagian, dan lokal; (3) separation of powers yang bersumber dari
pemikiran John Locke dan Charles-Louis de Secondat Montesquieu bahwa tugas,
tanggung jawab, wewenang, dan kekuasaan untuk setiap tingkat pemerintahan
(federal, negara bagian, dan lokal) dipecah lagi menjadi beberapa cabang
(eksekutif, legislatif, dan yudikatif); (4) checks and balances yang bersumber
dari pemikiran Henry St. John Bolingbroke dan William Blackstone. bahwa masing-masing
cabang dan tingkat pemerintahan diwajibkan untuk senantiasa saling mengawasi
dan mengontrol.
PEMBAHASAN
1. Prinsip Demokrasi
Inu Kencana Syafiie merinci
prinsip-prinsip demokrasi sebagai berikut, yaituadanya pembagian kekuasaan,
pemilihan umum yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu,
peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang berdasarkan
hukum, pers yang bebas, beberapa partai politik, konsensus, persetujuan,
pemerintahan yang konstitusional, ketentuan tentang pendemokrasian, pengawasan
terhadap administrasi negara, perlindungan hak asasi, pemerintah yang
mayoritas, persaingan keahlian, adanya mekanisme politik, kebebasan kebijaksanaan
negara, dan adanya pemerintah yang mengutamakan musyawarah. Prinsip-prinsip
negara demokrasi yang telah disebutkan di atas kemudian dituangkan ke dalam
konsep yang lebih praktis sehingga dapat diukur dan dicirikan. Ciri-ciri ini
yang kemudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat pelaksanaan demokrasi
yang berjalan di suatu negara. Parameter tersebut meliputi empat aspek.Pertama,
masalah pembentukan negara. Proses pembentukan kekuasaan akan sangat menentukan
bagaimana kualitas, watak, dan pola hubungan yang akan terbangun. Pemilihan
umum dipercaya sebagai salah satu instrumen penting yang dapat mendukung proses
pembentukan pemerintahan yang baik. Kedua, dasar kekuasaan negara. Masalah ini
menyangkut konsep legitimasi kekuasaan serta pertanggungjawabannya langsung
kepada rakyat. Ketiga, susunan kekuasaan negara. Kekuasaan negara hendaknya
dijalankan secara distributif. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemusatan
kekuasaan dalam satu tangan..Keempat, masalah kontrol rakyat. Kontrol
masyarakat dilakukan agar kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau negara
sesuai dengan keinginan rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Makna
sebenarnya demokrasi didalam suatu pemerintahan rakyat adalah bahwa rakyat
sangat yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan oleh
wakil-wakil rakyat. Pemerintahan yang tidak termasuk dengan demokrasi adalah
cara pemerintahan yang dilakukan oleh dan atas nama seorang diri atau
pemerintahan yang dilakukan oleh segolongan kecil manusia saja, yang menganggap
dirinya tercakap dan berhak untuk mengambil dan melakukan segala kekuasaan di
atas segenap rakyat.
Beberapa karakteristik yang harus
ditampilkan dari warga negara yang berkarakter dan berjiwa demokratis, yaitu
;Memilki sikap rasa hormat dan tanggung jawab, bersikap kritis, membuka diskusi
dan dialog, bersikap terbuka, bersikap rasional, adil, dan selalu bersikap
jujur. Warga negara yang otonom harus melakukan tiga hal untuk mewujudkan
demokrasi konstitusional, yaitu menciptakan kultur taat hukum yang sehat dan
aktif (culture of law), ikut mendorong proses pembuatan hukum yang aspiratif
(process of law making), mendukung pembuatan materi-materi hukum yang responsif
(content of law), ikut menciptakan aparat penegak hukum yang jujur dan
bertanggung jawab (structure of law). Teori Kedaulatan Rakyat sebenarnya telah
tampak dalam prinsip-prinsip Revolusi Prancis tahun 1789 yang setelah itu
dicantumkan pada Undang Undang Dasar Negara Perancis, dimana pasal ke 6 dari
pengumuman hak-hak tahun 1789 menegaskan bahwa: “Undang-undang adalah ungkapan
dari keinginan rakyat” . Dari uraian yang diatas dapat jelaslah bahwa demokrasi
pada intinya adalah kedaulatan rakyat, dan bahwa kedaulatan ini pada dasarnya
bermuara pada hak yang mutlak dalam pembuatan hukum yang tidak tunduk terhadap
kekuasaan yang lain.
Demokrasi adalah sebuah sistem
masyarakat yang ditujukan untuk membentuk suatu masyarakat yang madani.
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi (demokratisasi) menurut M.
Dawam Rahadjo, bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya bersifat ko-eksistensi
atau saling mendukung. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi
dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah masyarakat
madani dapat berkembang secara wajar. Nurcholish Madjid memberikan penjelasan
mengenai keterkaitan antara masyarakat madani dengan demokratisasi. Menurutnya,
masyarakat madani merupakan tempat tumbuhnya demokrasi. Pemilu merupakan simbol
bagi pelaksanaan demokrasi. Masyarakat madani merupakan elemen yang signifikan
dalam membangun demokrasi. Salah satu syarat penting bagi demokrasi adalah
terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan
yang dilakukan oleh negara atau pemerintahan. Masyarakat madani mensyaratkan
adanya civic engagement yaitu keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi
sosial. Civic engagement ini memungkinkan tumbuhnya sikap terbuka, percaya, dan
toleran antara satu dengan lainnya. Masyarakat madani dan demokrasi menurut
Ernest Gellner merupakan dua kata kunci yang tidak dapat dipisahkan. Demokrasi
dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki adanya
partisipasi. Dalam perjalanannya, demokrasi juga memiliki urgensi-urgensi.
Urgensi-urgensi demokrasi adalah
a. kebebasan
untuk berpendapat
b. kebebasan untuk membuat kelompok
c. kebebasan
untuk berpartisipasi
d. kesetaraan
antar warga
e. saling
percaya
f. kerjasama.
g. Kesadaran
akan pluralisme
h. Sikap
yang jujur dan pikiran sehat
i. Demokrasi
membutuhkan kerjasama antar warga masyarakat.
j. Demokrasi
membutuhkan sikap kedewasaan
k. Demokrasi
membutuhkan pertimbangan moral
2. Struktur Sosial Demokrasi Amerika
Penyebab Demokrasi Amerika Serikat
Akar sosial demokrasi AS berasal dari
rasa kesataraan para kaum imigran Eropa di pesisir New England. Dalam
perkembangan sejarahnya, Amerika Serikat merupakan negara yang terbentuk dari
kumpulan imigran dari Eropa yang lari dari kekuasaan feodal. Menurut
Tocqueville (dalam Stone dan Menhell, 2005), dalam sistem feodal sebelumnya
semua anggota masyarakat diikat oleh jejaring yang sudah baku, dalam sistem
baru Amerika Serikat, Individualisme menjadi pilihan. Dalam sistem baru ini,
para individu menjadi diri yang bebas, komunalisme berganti dengan
Individualisme. Persamaan menjadi basis dari sistem masyarakat di Amerika
serikat (Stone dan Menhell, 2005). Anglo-Amerika adalah bangsa pertama yang
cukup senang untuk menyingkirkan kekuasaan absolut, mereka mendapatkan
kesempatan ini berkat keadaan, asal ususl, kecerdasan dan perasaan moral
mereka, yang menjaga kedaulatan rakyat (Stone dan Menhell, 2005).
Ciri-Ciri Demokrasi Amerika
Ciri-ciri utama masyarakat AS adalah
negara dimana warga negaranya suka berkumpul hal inilah yang menjadikan Amerika
disebut sebagai negara yang memiliki tatanan sosial yang bersifat demokratis.
Orang-orang Amerika Serikat dari segala usia kondisi, dan kecenderuangan
senantiasa membentuk perkumpulan. Perkumpulan bukan hanya perkumpulan serikat
pegawai, namunn juga perkumpulan agama, dan komunitas hiburan. Orang Amerika
membentuk perkumpulan untuk mencari hiburan, mendirikan lembaga pendidikan,
membangun penginapan, membangun geraja dan lain lain (Toqueville dalam Stone
dan Menhell, 2005). Mengingat masyarakat Amerika sering berkumpul dan salah
satunya adalah berkumpul dalam aktivitas keagamaan, hal ini menurut Tocqueville
dalam (Stone dan Menhell, 2005) menunjukkan bahwa Amerika merupakan negara yang
agamis. Agamalah yang melahirkan masyarakat Anglo-Amerika. Dengan demikian, di
Amrika Serikat agama berbaur dengan kebiasaan bangsa itu dan bersatu dengan
rasa patriotisme.
Menurut Tocqueville (dalam Stone dan
Menhell, 2005) di Amerika Serikat, aristokrasi tidak menjadi dasar prinsip
hidup masyarakatnya. Sehingga tingkatan dan perbedaan status sejak lahir secara
logis menjadi tidak ada, sehingga posisi individu sama dengan individu lainnya.
Hal ini mengakibatkan negara cenderung membentuk sebuah tirani baru, yaitu
tirani mayoritas (Stone dan Menhell, 2005). Dalam sistem masyarakat di AS
menurut Tocqueville (dalam Stone dan Menhell, 2005), unsur-unsur aristokrasi
selalu lemah saat kelahiran manusia di sana. Sebaliknya, prinsip demokrasi
telah memperoleh begitu banyak kekuatan seiring dengan perkembangan waktu,
peristiwa dan produk hukum. Jika ditinjau dari kehidupan sosialnya, masyarakat
aristrokrasi senantiasa berisis sejumlah kecil warga yang kuat dan kaya, dan
masing-masing mampu merampungkan pekerjaan besar sendirian. Dalam masyarakat
aristokrasi, orang tak perlu bergabung untuk bisa bertindak karena mereka
sangat terikat bersama. Setiap warga yang kaya dan kuat senantiasa berpeluang
menjadi pemimpin perkumpulan wajib, dimana dimana para anggotanya dituntut
patuh dengan keputusan yang dirancang (Tocqueville dalam Stone dan Menhell,
2005). Hal ini berbeda dengan prinsip tatanan sosial warga AS. Menurut
Tocqueville (dalam Stone dan Menhell) dinegara demokratis, semua warganya
independen dan lemah. Mereka nyaris tidak dapat berbuat apapun sendirian, dan
tiada seorang pun yang dapat menuntut sesamanya untuk mengulurkan bantuan.
Dengan demikian, tidak ada perintah untuk membantu sesama. Negara demoraktis
menurut menurut Tocqueville (dalam Stone dan Menhell) harus dengan sendirinya
menumbuhkan kesadaran untuk menjadi warga negara yang mempunya prinsip empati
dan saling membantu dengan sukarela. Hal ini lebih lanjut akan menjadi masalah
besar sekaligus tantangan besar bagi setiap negara demokrasi, yang mana
nantinya akan menjadikan negara tersebut Individualis atau corperatif. Dengan
demikian, dalam kehidupan sosialnya, Amerika Serikat memperlihatkan fenomena
yang paling luar biasa. Orang hidup disana dinilai berdasarkan kesetaraan yang
lebih besar dalam hal kekayaaan dan kepintaran. Lebih lanjut dalam hal ini,
sistem persamaan dalam konteks masyarakat komersial cenderung membuat individu
hanya mencari kebahagiaan sesaat, dan bersaing mencari kebahagiaan sesaat, dan
bersaing mencari keuntungannya sendiri. Masyarakat akan berisi manusia
medioker, tanpa keagungan aristrokrasi. Yang terpenting adalah perdamaian dan
kesejahteraan dan sebuah siituasi di mana angota-angotanya dapat bekerja dengan
tenang mencari hidup dan kebahagiaan (Stone dan Menhell, 2005). Dengan plus dan
minus yang dimiliki oleh negara yang menganut sistem demokrasi, Menurut
Tocqueville, budi pekerti masyarakat Amerika Serikat adalah menjadi sebab nyata
yang menjadikan satu-satunya alat yang membuat rakyat diseluruh AS mampu
mendukung pemerintahan yang demokratis, dan pengaruh budi pekertilah yang
menghasilkan derajat-derajat keteraturan dan kemakmuran di beberapa negara
bagian di Amerika Serikat (Stone dan Menhell, 2005).
Hukum Demokrasi di Amerika Serikat
Adanya
demokrasi di Amerika Serikat selain menyebabkan rakyat lebih mementingkan
kesenangan sesaat, selain itu orang juga enggan untuk mengorbankan dirinya
untuk orang lain, namun memperlihatkan rasa iba akan sesamanya. Hal ini dapat dilihat
dari sistem humum yang ada. Amerika serikat pada abad ke 19 hampir menghapuskan
semua hukuman berat penuh dari kitab pidana mereka (Stone dan Menhell, 2005). Berkaitan
dengan hal hukum tersebut, dikarenakan warga AS dalam hak istimewa tidak lebih
unggul dari pada warga lainnya, akan berdampak pada anggapan setiap individu
warga negara bahwa mereka tidak harus mematuhi atau menghormati warga negara
yang lain, mereka hanya bersatu dalam urusan pengadilan, pemerintahan, dan
urusan urusan yang berkaitan dengan kesejahteraanbersama (Tocqueville dalam
Stone dan Menhell, 2005).
Orang
Amerika yang begitu bersemangat untuk berkumpul dalam rapat politik dansidang
pengadilan, sebaliknya dapat memisahkan diri dari lingkarn-lingkaran kecil
untuk menikmati kehidupan pribadinya. Setiap orang mengakui bahwa setiap warga
negara adalah sederajat, namun mereka hanya sedikit saja rela untuk menerima
teman sebagai tamu (Tocqueville dalam Stone dan Menhell, 2005).
Keuntungan Tatanan Demokrasi
Amerika
Demokrasi Amerika memiliki
keuntungan-keuntungan yang menyebabkan Amerika Serikat menjadi negara demokrasi
yang maju, yaitu berasal dari 3 fator. Faktor tersebut adalah faktor geografi,
sistem politik dan faktor adat-istiadat. Dalam masalah geografi, Amerika adalah
benua baru yang menjanjikan kecukupan dan kemakmuran dari para penduduknya.
Penduduk Amerika tidak khawatir dengan adanya tekanan berarti dari bangsa lain
seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Serikat (Stone dan Menhell,
2005). Sistem Amerika serikat menganut sistem federasi, dimana
keputusan-keputusan tidak diambil oleh pemerintah pusat namun terdesentralisasi
kepada pemerintah lokal, sehingga warga negara menjadi terakomodasi dan dapat
memenuhi keinginannya melalui penyampaian pada pemerintah federal masing-masing
negara bagain.sistem ini pulalah yang mendorong semangat partisipatoris di AS.
Tocqueville mengamati bahwa masyarakat AS terlibat pada acara-cara sosial,
perkumpulan-perkumpulan keagamaan dan politik. Semangat seperti tersebut diatas
merupakan alat counter-balance yang positif terhadap kecenderungan negatif yang
melekat pada demokrasi dan sistem persamaan (Stone dan Menhell, 2005). Akibat
tidak langsung dari sistem desentralisasi dan federasi adalah adanya sistem
politik yang berbentuk Uni. Di AS, kepentingan warganegara mendapatkan
perhatian dalam bentuk Uni, sehingga warga negara menjadi terikat kepadanya.
Subjek dari Uni bukanlah negara-negara bagian, melainkan dari warga negara
biasa. Terlepas dari keuntungan yang dimiliki oleh Uni yang bersatu dalam
sistem federal, menurut Tocqueville, konstitusi AS memiliki masalah dikarenakan
rumitnya perangkat yang digunakan (Stone dan Menhell, 2005).
Masalah Dalam Tatanan Demokratis
Amerika Serikat
Amerika adalah negara dimana prinsip
kesetaraan dalam hak lahir dan kepemilikan bergabung dengan paham dan tujuan
warga negara AS yaitu kebebasan. Kertika setiap masyarakat tidak berbeda satu
sama lain, tiada seorangpun yang dapat menjalankan tirani, manusia akan bebas
secara sempurna. Menuju keadaan ideal inilah negara demokratis terarah. Oleh
karena itu, kesetaraan akan mencapai tingkat terjauh, nantinya akan dikacaukan
dengan kebebasan. Menurut Tocqueville (dalam Stone dan Menhell, 2005)
menyatakan bahwa, pada prinsipnya, kesetaraan dan kebebasan adalah dua prinsip
yang berbeda. Dan inilan yaang menurut Tocqueville menjadi masalah bagi negara
demokratis. Individualisme Amerika akan membawa negara tersebut kejurang
kebebasan yang nantinya menjadikan antar warga negara menjadi tidak setara,
dalam hal ekonomi, pendidikan dan partisipasi politik. Meskipun dalam hal ini,
negara demokratis terlebih AS, memberikan hak dan kesempatan yang sama pada
setiap warga negaranya. Lebih lanjut Tocqueville (dalam Stone dan Menhell,
2005), diantara negara demokratis dimana setiap warga negara setara, tak ada
ikatan ikatan nyata yang menghubungkan orang bersama, atau membuat orang diam
diposisi mereka. Tidak ada individu yang memiliki kekuasaan untuk memberikan
perintah, tidak ada individu yang menuntut untuk patuh. Namun setiap orang yang
merasa memiliki pendidikan dan sumber daya, mungkin memilih jalannya sendiri
dan bergerak terpisah dari sesamanya.
Masalah
Tatanan Demokrasi Politik AS
Menurut Tocqueville (dalam Stone dan
Menhell, 2005), akan ada kecenderungan bagi masyarakat untuk mengubah bentuk
dan tempatnya, dan zaman demokratis akan menjadi masa tranformasi yang tiada
henti, yang nantinya akan membawa masyarakat kedalam sebuah revolusi. Dengan
demikian,dapat disimpulkan bahwa dalam negara demokrasi dimana kebebasan yang
berawal dari kesetaraan ini dimulai, akan mengakibatkaan setiap warga negara
dapat mempengaruhi satu sama lain, membentuk kelompok-kelompok dan mengubah
prinsip dasar hidup mereka, mengubah undang-undang serta perilaku mereka
(Tocqueville dalam Stone dan Menhell, 2005). Hal ini terbukti dengan pernyataan
dari William R. Nylen dalam bukunya “Participatory Democracy versus Elitist
Democracy: Lessons from Brazil” (2003), menyatakan, demokrasi AS telah
menyimpang dari pengertian demokrasi sebagai kekuasaan dari, oleh, dan untuk
rakyat. Demokrasi Amerika telah menjadi kendaraan bagi elite untuk mengamankan
dan meluaskan kepentingannya, sembari mengasingkan kepentingan mayoritas rakyat
Amerika. Untuk menjelaskan simpulannya ini, Nylen meminjam Norberto Bobbio,
seorang ilmuwan politik asal Italia, yang menyatakan demokrasi adalah sebuah
proses ‘menjadi,’ senantiasa bertransformasi, dan menjadikannya sesuatu yang
alamiah. “Democracy is dynamic, despotism is static and always essentially the
same,” tulis Bobbio. Dinamis karena demokrasi pertama-tama dan terutama, adalah
“a conflictual process of inclussionary adaptation both reflecting and spurring
on changes in the overall balance of social and political power.” Sebaliknya,
demikian Nylen, demokrasi AS kini telah menjadi stagnan dan dalam proses
pembusukan, karena apa yang disebut proses inclussionary adaptation itu secara
esensial telah berhenti dan bertransformasi menjadi mechanism of exclusion
Selain itu, dikarenakan Amerika hanya
menganut sistem dua partai, maka terjadi penguatan sistem atau praktik
Oligarki. Menguatnya kekuasaan oligarki ini, terutama disebabkan oleh suksesnya
partai Republik pada dekade 1980an dalam menghancurkan peran negara sebagai lembaga
yang berhak mengoreksi kegagalan pasar. Dengan demikian, Tak ada lagi kekuatan
dari luar yang sanggup mencegah kuasa oligarki ini. Tidak pula partai Demokrat,
yang secara tradisional dianggap lebih berpihak pada kelompok miskin. Hal kedua
yang menyebabkan demokrasi Amerika menjadi stagnan, karena sikap politik
rakyatnya yang apatis. Demokrasi dalam makna yang sesungguhnya, sebagai sebuah
kekuasaan rakyat, sebenarnya adalah sebuah proses yang dialektis. Ia adalah
hasil perjuangan tanpa henti antara rakyat sebagai sumber kekuasaan dan
pemerintah yang menjalankan kekuasaan sehari-hari. Dalam makna ini, tak ada
yang disebut pelimpahan kekuasaan dari rakyat kepada pemerintah. Yang ada
adalah pendelegasian kekuasaan dari rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan
kepada pemerintah. Tetapi, ketika kekuasaan itu terlembaga dalam wujud negara,
ia justru makin menjauh, tersaing, bahkan melawan pemegang mandat. Di sini
negara bersama seperangkat aparatusnya menjadi rumit, kaku, angker, tertutup
dan kasar. Dalam analisis Karl Marx, di masa kapitalisme, negara yang terasing
dari rakyat miskin ini menjadi alat dari kelas borjuasi untuk melayani dan
mengamankan kepentingannya. Dalam konteks Amerika, ia menjadi adalah alat
oligarki untuk melayani, mengamankan, dan meluaskan kepentingannya.
Dalam sejarah Amerika, menurut Nylen,
keberpihakan pemerintah Amerika terhadap kepentingan mayoritas rakyat terjadi,
hanya setelah ada desakan dan perlawanan politik dari rakyat. Sebagai contoh,
Konstitusi Amerika 1788 yang tengah disusun oleh para pendiri bangsa yang
sebagian besar adalah tuan tanah kaya raya dan berpendidikan, sangat
dipengaruhi oleh pemberontakan petani di Massachusetts Barat (1786-1787), yang
menentang pajak tinggi dan ancaman penutupan lahan pertaniannya yang
diberlakukan oleh pemerintahan negara bagian. Demikian juga dengan pengundangan
hak-hak sipil (Civil Rights legislation) pada akhir 1950an dan awal 1960an, adalah
hasil dari perjuangan kelompok akar rumput seperti Student Non-Violent
Coordinating Committee, Southern Council of Baptist Church dan individu seperti
Rosa Parks dan Martin Luther King Jr. Penarikan diri tentara Amerika dari
perang Vietnam, juga hanya setelah ada demonstrasi besar-besaran di dalam
negeri Amerika sendiri yang menentang perang tersebut. Tetapi, kini kesadaran
sejarah seperti ini seakan hilang dari ingatan kolektif rakyat Amerika. Di
tengah-tengah booming ekonomi, produk-produk yang membanjiri pasar dengan harga
terjangkau, rakyat Amerika merasa apa yang terjadi saat ini sudah merupakan
sesuatu yang wajar. Wajar dalam pengertian yang negatif, karena sebenarnya
ketidakpercayaan rakyat bahwa proses politik demokrasi dan para politisi akan
bekerja untuk kepentingannya meningkat tajam, dari 30 persen pada 1966 menjadi
75 persen pada 1992. Hal itu diiringi oleh merosotnya level partisipasi dalam
organisasi masyarakat sipil.
Kondisi apatis ini oleh Robert Putnam
disebut sebagai “civic disengagement.” Inilah kata Putnam, seorang
Neo-Tocqquevillains,”the greatest threat to American Liberty comes from the
disengaged, not the engaged,” (Robert D. Putnam, “Bowling Alone: America’s Declining
Social Capital,” The Journal of Democracy, 6, January 1995). Dalam catatan
Nylen, ada dua hal yang menyebabkan rakyat Amerika menjadi apatis. Pertama,
rakyat Amerika kini merasakan betapa negara telah menjadi begitu kuatnya.
Suaranya kalah kencang dibandingkan dengan suara birokrasi kekuasaan.
Selain itu, dikarenakan Amerika menganut
model demokrasi mayoritas, maka akan berdampak pada kepentingan dari sedikit
individu harus dikorbankan bagi kepentingan dari banyak individu (kepentingan
umum), maka model pluralis menyatakan bahwa yang menang tidak harus atau tidak
selalu kepentingan mayoritas, melainkan kepentingan yang disuarakan oleh
kelompok yang paling kuat atau yang terampil dalam menyuarakan dan
memperjuangkannya. Kelompok kepentingan yang kuat dalam kenyataannya tidak
selalu milik mayoritas.
Demokrasi Masyarakat Indonesia
Demokrasi Sebagai Budaya dan
Identitas Bangsa
Demokrasi bukan hal baru bagi bangsa
Indonesia, dimana telah dijelas dalam Pancasila yang oleh Bung Karno sebagai
Penggalinya ditegaskan sebagai Isi Jiwa dan Identitas Bangsa. Tidak dihiraukan
bahwa demokrasi dan sistem pemerintahan itu akan berjalan tepat jika dapat
menggerakkan dinamika bangsa serta mengembangkan energi bangsa dilakukan secara
maksimal untuk mencapai tujan hidupnya. Identitas dalam kategori mencari
legitimasi adalah pengakuan dari kelompok atau negara. Hal ini dapat kita lihat
pada terbentuknya negara didalam perjuangan kemerdekaan. Untuk negara Indonesia
sendiri, pembentukan identitas bangsa Indonesia sampai revolusi tahun 1945
mempunyai citra identitas politik. Arus primordialisme pembentukan indentitas
terus terakumulasi sampai pada puncaknya pada pembuataan UUD 1945 (Tilaar,
2007). Berakar dari asas primordialisme, Identitas bangsa Indonesia dapat di
lihat dalam Pancasila. Menurut Driyarkara (dalam Tilaar, 2007) pada dasarnya
sila-sila dalam Pancasila semuanya diarahkan kepada kehidupan manusia yang
membutuhkan hidup kerohanian serta hidup bersama dengan masyarakatyang adil dan
makmur. Oleh sebab itu kehidupan bermasyarakat Indonesia dengan identitas
Indonesia adalah kehidupan yang penuh kedamaian, saling menghormati, dan saling
menghargaivakan perbedaan yang ada di dalam kehidupan bersamasebagai kekayaan
dari bangsa Indonesia (Tilaar, 2007).
Dalam Pancasila, dijelaskan bahwa
aspirasi manusia Indonesia juga mengandung aspek Demokrasi Sosial di samping
Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
jelas sekali menunjukkan pentingnya Demokrasi Sosial. Sebab itu semua warga
negara sama kedudukannya dalam hukum dan semua harus menjunjung hukum dan
pemerintahan tanpa memandang tingkat kedudukannya dan asal golongannya. Semua
warga berhak atas kehidupan yang layak sebagai manusia yang berharga. Dalam
pengaplikasiaanya, sebuah demokrasi Pancasila yang pada dasarnya merupakan
bentuk tertulis dari identitas bangsa memiliki prinsip-prinsip.
Prinsip
prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
• Persamaan bagi seluruh rakyat
Indonesia
• Keseimbangan antara hak dan
kewajiban
• Pelaksanaan kebebasan yang
bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan
• Mewujudkan rasa keadilan sosial
• Pengambilan keputusan dengan
musyawarah mufakat.
• Mengutamakan persatuan nasional
dan kekeluargaan
• Menjunjung tinggi tujuan dan
cita-cita nasional.
Landasan Demokrasi Indonesia dan
Demokrasi Sekuler
Karena
Pancasila telah kita akui dan terima sebagai Filsafah dan Pandangan Hidup
Bangsa serta Dasar Negara RI, maka Pancasila harus menjadi landasan pelaksanaan
demokrasi Indonesia. Kalau kita membandingkan dengan demokrasi Barat yang
sekarang menjadi acuan bagi kebanyakan orang, khususnya kaum pakar politik
Indonesia, ada perbedaan yang mencolok sebagai akibat perbedaan pandangan hidup.
Sebagaimana sudah diuraikan dalam makalah Perbedaan Pikiran Barat dan
Pancasila, perbedaan prinsipiil atau mendasar dalam pandangan hidup Barat dan
Indonesia adalah tempat Individu dalam pergaulan hidup. Dalam pandangan Barat
individu adalah mahluk otonom yang bebas sepenuhnya untuk mengejar semua
kehendaknya. Bahwa individu membentuk kehidupan bersama dengan individu lain
adalah karena dorongan rasionya untuk memperoleh keamanan dan kesejahteraan
yang terjamin, bukan karena secara alamiah individu ditakdirkan hidup bersama
individu lain. Sebaliknya dalam pandangan Indonesia individu adalah secara
alamiah bagian dari kesatuan lebih besar, yaitu keluarga, sehingga terjadi
Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Oleh sebab itu pandangan
bangsa Indonesia adalah bahwa hidup merupakan Kebersamaan atau Kekeluargaan.
Individu diakui dan diperhatikan kepentingannya untuk mengejar yang terbaik
baginya, tetapi itu tidak lepas dari kepentingan Kebersamaan / Kekeluargaan. Jika
pelaksanaan demokrasi Barat dinamakan sekuler dalam arti bahwa tidak ada faktor
Ketuhanan atau religis yang mempengaruhinya, sebaliknya demokrasi Indonesia
tidak dapat lepas dari faktor Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama
Pancasila. Meskipun NKRI bukan negara berdasarkan agama atau negara agama,
namun ia bukan pula negara sekuler yang menolak faktor agama dalam kehidupan
bernegara. Ada yang mengritik “sikap bukan ini bukan itu” sebagai sikap yang
a-moral dan ambivalent, tetapi dalam perkembangan cara berpikir dalam melihat Alam
Semesta, khususnya yang dibuktikan oleh Quantum Physics , hal ini normal.
Justru karena sikap itu demokrasi Indonesia tidak pernah boleh lepas dari
faktor moral.
Demokrasi Musyawarah
Di Indonesia berdasarkan Pancasila
demokrasi dilaksanakan melalui Musyawarah untuk Mufakat. Jadi dianggap tidak
benar bahwa pihak yang sedikit jumlahnya dapat di”bulldozer” oleh pihak yang
besar jumlahnya. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia pada prinsipnya
mengusahakan Win-Win Solution dan bukan karena faktor manfaat semata-mata.
Namun demikian, kalau musyawarah tidak kunjung mencapai mufakat sedangkan
keadaan memerlukan keputusan saat itu, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian
didasarkan jumlah suara. Maka dalam hal ini voting dilakukan karena faktor
Manfaat, terbalik dari pandangan demokrasi Barat. Dalam demokrasi Indonesia
tidak hanya faktor Politik yang perlu ditegakkan, tetapi juga faktor
kesejahteraan bagi orang banyak sebagaimana dikehendaki sila kelima Pancasila.
Jadi demokrasi Indonesia bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi
ekonomi dan demokrasi sosial. Bahkan sesuai dengan Tujuan Bangsa dapat
dikatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi kesejahteraan dan
kebahagiaan dan bukan demokrasi kekuasaan seperti di Barat. Hal itu kemudian berakibat
bahwa pembentukan partai-partai politik mengarah pada perwujudan kehidupan
sejahtera bangsa. Karena demokrasi Indonesia adalah demokrasi kesejahteraan,
maka wahana pelaksanaan demokrasi Indonesia tidak hanya partai politik. Banyak
anggota masyarakat mengutamakan perannya dalam masyarakat sebagai karyawan atau
menjalankan fungsi masyarakat tertentu untuk membangun kesejahteraan, bukan
sebagai politikus. Demikian pula Indonesia adalah satu negara yang luas
wilayahnya dan terbagi dalam banyak Daerah yang semuanya termasuk dalam
Keluarga Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu di samping peran partai politik,
harus diperhatikan juga partisipasi Daerah dalam mengatur dan mengurus bangsa
Indonesia sebagai satu Keluarga. Karena itu ada Utusan Daerah yang mewakili
daerahnya masing-masing dalam menentukan jalannya Bahtera Indonesia. Sebagaimana
prinsip Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan menjamin setiap
bagian untuk mengejar yang terbaik, maka Daerah yang banyak jumlahnya dan aneka
ragam sifatnya perlu memperoleh kesempatan mengurus dirinya sesuai
pandangannya, tetapi tanpa mengabaikan kepentingan seluruh bangsa dan NKRI.
Otonomi Daerah harus menjadi bagian penting dari demokrasi Indonesia dan
mempunyai peran luas bagi pencapaian Tujuan Bangsa.
Masalah Demokrasi di Indonesia di
Masa Transisi Reformasi
Demokrasi dalam arti sebenarnya terkait
dengan pemenuhan hak asasi manusia. Dengandemikian ia merupakan fitrah yang
harus dikelola agar menghasilkan output yang baik.Setiap manusia memiliki hak
untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, berserikat danbermasyarakat. Dengan
demikian, demokrasi pada dasarnya memerlukan aturan main.Aturan main tersebut
sesuai dengan keadilan dan sekaligus yang terdapat dalamundang-undang maupun
peraturan pemerintah. Di masa transisi reformasi yang dialami Indonesia
sekarang ini, sebagian besar orang hanya mengerti demokrasi dalam kebebasan
untuk berbicara, beraspirasi, berdemonstrasi. Namun aspirasi yang tidak sampai
akan menimbulkan kerusakan. Tidaksedikit fakta yang memperlihatkan adanya
pengrusakan ketika terjadinya demonstrasimenyampaikan pendapat. Untuk itu,
diperlukan adanya pemahaman yang utuh agarmereka bisa menikmati demokrasi. Demokrasi
di masa transisi tanpa adanya sumber daya manusia yang kuat akanmengakibatkan
masuknya pengaruh asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adalah
tantangan yang cukup berat juga dalam demokrasi yang tengah menapak.Pengaruh
asing tersebut jelas akan menguntungkan mereka dan belum tentumenguntungkan
Indonesia. Dominannya pengaruh asing justru mematikan demokrasi itusendiri
karena tidak diperbolehkannya perbedaan pendapat yang seharusnyamenguntungkan
Indonesia. Standar ganda pihak asing juga akan menjadi penyebab mandulnya
demokrasi di Indonesia.Kebebasan yang berlebihan, apalagi yang mutlak, justru
mengundang perpecahan dan konflik antara warga. Hal itu akan malahan menjauhkan
masyarakat dan bangsa dari kemajuan yang diinginkan. Hal itu kita rasakan
sendiri sekarang sejak Reformasi 1998 hingga sekarang.
Esensi Keadilan Rakyat
Menurut Rawl dalam (dalam Ujan, 2001),
kebebasan dan kesamaan merupakan unsur utama dari teori keadilan. Perlakuan
yang sama bagi semua anggota masyarakatyang terakomodasi dalam keadilan
regulatif sesungguhnya mengandung pengakuan akan kebebasan dan kesamaan bagi
semua orang. Pengakuan tersebut memperlihatkan adanya kesadaran sosial yang
mendasarkan bahwa kebnebasan dan kesamaan adalah nilai dari keadilan. Prinsip
keadilan ada dua, yaitu yang pertama setiap orang harus memiliki hak yang sama
atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua
orang. Kedua, masalah kesejahteraan ekonomi dan sosial harus diatur sedemikian
rupa sehingga memberikan keuntungan bagi setiap manusia (Ujan, 2001).
Ketidaksamaan dalam pencapaian nilai nilai sosial dan ekonomi diperbolehkan
apabila tetap membuka peluang bagi orang lain untuk mendapatkan manfaat dalam
hal yang sama.
Menurut Rawl (dalam Ujan, 2001),
kekuatan dari keadilan dalam arti fairness justru terletak pada tuntutan bahwa
ketidaksamaan dibenarkan selama memberikan keuntungan bagi semua pihak dan
sekaligus memberikan prioritas dalam kebebasan. Dengan demikian pembatasan
terhadap kebebasan dan hak hanya diperbolehkan sejauh hal itu dilakukan ddemi
melindungi dan mengamankan pelaksanaan kebebasan itu sendiri. Keadilan sebagai
fairness tidak akan pernah menjadi kenyataan dalam kehidupan warga negara
apabila tidak ada kesadaran luas akan pentingnya saling menghargai sebagai
sebuah moral diantara masyarakat. Oleh sebab itu, sikap saling menghargai harus
dinyatakan dan dilaksanakan sebagai kewajiban natural (Ujan, 2001). Konsep
keadilan sebagai fairness secara singkat merupakan gagasan atau anggapan yang
menganggao semua orang memiliki basis keadilan moral yaang akan menuntun pada a
sense of justice and a sense of good. Adanya kemampuan moral untuk bertindak
berdasarkan konsep keadilan dan kemampuan untuk membentuk, merevisi, dan secara
rasional mewujudkan sesuatu yang lebih baik inilah yang menjadi dasar atas
prinsip keadilan. Interpretasi liberal atas prinsip keadilan yang mengandung
unsur liberal dapat mengelakkan implikasi buruk dalam hal pembatasan kemampuan
natural manusia. Akan tetapi, interpretasi liberal tidak memberikan jaminan
yang tegas terhadap perlindungan dan pelaksanaan hak-hak yang sama bagi semua
orang karena distribusi yang didasarkan melulu pada bakat dan kemampuan natural
tetap cenderung sewenang-wenang. Oleh karena itu, demiterwujudnya suatu
kesempatan yang sama bagi semua orangm dibutuhkan suatu kondisi yang harus bisa
dipaksakan pada sistem sosial yang ada. Untuk itu diperlukan adanya lembaga
hukum yang berfungsi untuk mengontrol dan sekaligus menjamin terbukannya
kesempatan yang sama bagi setiap orang. Lain halnya jika ditinjau dari
persamaan demokratis, dalam perspektif demokratis, “frase terbuka secara sama”
(equally open) menunjukan kepada prinsip kesempatan yang adil bagi semua orang.
Prinsip kesempatan yang adil ini dikombinasikan dengan prinsip diferen (the
difference principle) yang mengakui bahwa dalam suatu keadaan bermasyarakat
terdapat kelas yang tidak beruntung. Teori demokrasi keadilan Rawl (dalam Ujan,
2001) intinya menekankan kesamaan dalam hal kesempatan dalam mendapatkan
sesuatu atau prospek bagi semua pihak dan sekaligus membenarkan adanya
perbedaan dan ketidaksamaan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan. Meskipun
demikian, teori ini membuka peluang bagi semua orang, termasuk orang yang tidak
mampu atau tidak berbakat untuk merubah taraf sosialnya tanpa mengganggu taraf
sosial yang lebih tinggi. Lebih jauh Rawl (dalam Ujan, 2001) menegaskan bahwa,
keadilan sebagai fairness menuntuk kita untuk bertindak sesuai dengan rasa
keadilan. Dengan alasan bahwa keadilan merupakan sebuah nilai primer bagi
manusia, maka kewajiban untuk selalu bersikap adil pada pokoknya menuntuk bahwa
keadilan harus ditegakkan dengan menggunakan cara-cara yang adil pula (Ujan,
2001). Dengan demikian, hal penting yang harus diperhartikan disini adalah
peringatan Rawl (dalam Ujan, 2001) mengatakan untuk menghindari praktek-praktek
yang tidak adil, sekalipun dilakukan ataas nama keadilan. Dengan kata lain
keadilan tidak boleh dilaksanakan dengan cara yang tidak adil. Penggunaan cara
yang tidak adil pada akhirnya akan membunuh keadilan itu sendiri. Oleh karena
itu, menurut Rawl (dalam Ujan, 2001) mengatakan anggota masyarakat lain
memiliki kewajiban untuk menyadarkan individu atau kelompok yang tidak toleran.
Pun demikian, menggunakan kekerasan dalam menghadapi kaum intoleran juga tidak
dibenarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar